Islam Indonesia dalam Sorotan Dunia
Alumni Islamic Studies Fakultas Teologi University of Leiden Belanda, dan visiting Fellow di East West Center University of Hawaii USA
Pertemuan saya
dengan banyak orang non-Indonesia yang bertutur tentang
Islam di Indonesia seringkali menggembirakan dan menimbulkan
kebanggaan tersendiri. Sebutlah seorang teman saya dari
Universitas Khourtom Sudan yang sama-sama belajar di Belanda,
mengatakan Muslim di Indonesia itu moderat, apa ukurannya? Situasi yang ada!
Kakaknya
yang bekerja di Jakarta, sering bercerita kepadanya
bahwa hidup di Indonesia seringkali menimbulkan perasaan
yang berbeda-beda. Sebagai muslim,
ia merasa; suatu hari saya seperti hidup di negara
muslim, suatu hari seperti di negara Kristen. Mengapa? Sebab,
tidak ada dress code
bagi perempuan muslim di sini. Dia menjumpai para eksekutif
dan pekerja kantor berjas rapi dengan rok kurang lebih satu
lutut. Sebaliknya suatu hari dia menemui komunitas wanita
muslim yang berpakaian dan berkerudung sangat rapat, sehingga
seolah-olah dia ada di negara Islam.
Ada juga
cerita lain, selain fenomena di atas. Islam yang dikenal
sebagai agama yang cenderung patriarkhal (meskipun sebenarnya
potensi patriarkhal ada pada semua agama) juga menjadi sorotan;
pertanyaan seorang teman dari Aljazair, misalnya; Apakah
sudah umum perempuan-perempuan muslim di Indonesia dibolehkan
pergi belajar ke luar negeri? Bagi saya, itu merupakan sesuatu
yang sebenarnya dalam Islam nyaris tanpa perdebatan akan
keumumannya. Terakhir, cerita seorang muslim Australia-Turki
dengan penuh heran; kok perempuan Muslim Indonesia boleh
bernyanyi di depan publik ?
Awal September
2003 lalu, saya dengan dua orang fellow
dari Pakistan dan Malaysia memberikan presentasi, Islam Beyond Middle East di East West Center (EWC) Hawai. Saat itu
disampaikan, Indonesia terutama, memang mendapat sorotan
karena keunikannya, sebagai negara dengan jumlah populasi
muslim terbesar memiliki model keberagaman tersendiri dengan mengawinkan budaya-budaya
lokalnya dengan substansi Islam itu sendiri. Islam Indonesia,
memang sudah menjadi perhatian dunia, entah
dalam rangka kepentingan kolonial, akademik, budaya maupun
politik.
Tulisan singkat
ini sebenarnya ingin melihat Islam Indonesia dalam persepsi
dunia masa kolonial (yaitu masa kelahiran organisasi-organisasi
Islam), masa Suharto, masa reformasi, masa sebelum 11 September
2001, dan pasca 11 September.
Sorotan
Islam Masa kolonial
Melihat periode
ini sangatlah panjang. Namun, periode-periode ini bisa dilihat
sebagai titik awal identitas Islam di Indonesia. Hal ini
karena masuknya Islam di Indonesia yang ditandai dengan
akulturasi budaya yang sangat kental, berjalan lancar dan
tidak mengagetkan keberagamaan awal penduduknya. Islam melebur
dengan budaya lokal, menangkap spirit penyebaran agama yang
harus disampaikan tanpa kekerasan. Tak ada kafiyeh, jilbab,
masjid berkubah layaknya di Timur Tengah, kalaupun ada itu
dalam hitungan angka. Banyak kalangan dalam dan luar mengakui
keberhasilan ini, lepas dari perdebatan apakah Islam dibawa
oleh pedagang Gujarat atau dari orang-orang Arab langsung.
Dari sinilah, citra Islam Arab tidak nampak di Indonesia,
abad-abad belakangan barulah nampak identitas Arab itu,
lagi-lagi bukan dalam jumlah yang mayoritas.
Sementara
itu, ketaatan kepada pemimpin/pemuka agama yang nyaris tanpa
reserve menjadi gambaran
umum di banyak tempat. Hal
ini malah menjadi kekuatan tersendiri di masa lampau. Masa
kolonial Belanda misalnya, mengabadikan nama Snouck Hurgronje
sebagai penasehat ulung pemerintahannya. Resistensi Muslim
Aceh memang menjadi pekerjaan besar tersendiri bagi kolonial.
Strategi inilah yang kemudian mengantarkan Snouck[i]
sampai di Tanah suci dan rahasia kekuatan Aceh terkuak,
dan Aceh menjadi daerah di Indonesia yang paling akhir ditaklukan.
Peristiwa ini kemudian menjadi
sejarah penting bagaimana satu dari banyak tipologi
Islam di Indonesia “dimanfaatkan” oleh dunia luar.
Selain gambaran
politik Islam dan kolonial di masa itu, proses-proses penyebaran
Islam di Nusantara yang memang tidak persis seiring waktu
dan tempat dengan kolonialisasi juga menarik dikemukakan.
Pertama, sebagaimana dijelaskan di atas, akulturasi dan asimilasi budaya telah
membentuk identitas Islam Indonesia sebagai agama pendatang.
Identitas yang banyak disemangati oleh nilai toleransi itu
telah membuat konfigurasi “anyar” antara agama yang datang
dari Timur Tengah dan agama yang tunduk pada original
culture tanpa menafikan substansi pesan “langit” agama
itu.[ii]
Kedua, meski kemudian
menjadi agama mayoritas, Islam tidak menjadi dominan di
seluruh area Indonesia, banyak daerah menjadi konsentrasi
agama-agama tertentu, misalnya; Manado untuk Kristen, Bali
untuk Hindu dsb.[iii] Fenomena ini sesungguhnya
mengajarkan, bahwa di antara yang berbeda, tetap ada harmoni,
dan untuk melawan kekerasan atas nama agama, kuncinya terletak
pada toleransi, seperti di masa lalu, sesuatu yang sangat
sulit kita temukan pada masa sekarang. Selain hal-hal di
atas, masih banyak contoh lain di masa lalu yang menjadi
fondamen warna Islam di Indonesia.
Masa Kemerdekaan: Islam versus Komunis =Islam
Komunis?
Yang
menarik dari Islam masa ini adalah, era di mana gerakan
komunis mulai mendapat momentumnya. Ketika ramai-ramai
orang mempersepsikan
komunis setali tiga uang dengan atheisme, komunisme
di Indonesia malah berinteraksi secara baik-baik dengan
kaum muslim. Kenapa? Karena komunisme adalah gerakan, bukan
dimaknai sebagai ideologi an
sich[iv],
ia bisa dijadikan model gerakan untuk memperbaiki ketidakberdayaan
masyarakat, yang memang menjadi kondisi nyata bangsa Indonesia
waktu itu. Presiden Soekarno sendiri memaklumatkan ideologi
Nasakom, yang sama sekali bukan sebagai relasi agama vis-a-vis
komunisme tapi lebih sebagai perlawanan mengguritanya kapitalisme
dan Soekarno merasa harus menemukan formula yang tepat mengatasi
situasi keterpurukan ekonomi bangsa, belum stabilnya politik
negara. Meski untuk itu, perkawanannya dengan negara-negara
tetangga yang menjadikan komunis sebagai poros, barangkali
banyak mengilhami pemikiran Soekarno dalam melihat persoalan
di Indonesia.
Meski dunia
lebih mencatat komunis di Indonesia sebagai gerakan kudeta,
namun sebenarnya internalisasi nilai-nilai komunis dalam
Islam menarik untuk ditelusuri. Beberapa dari mereka malah
mencari titik persamaan antara keduanya, sebagai sesuatu
yang oleh publik diantagoniskan, misalnya; keberpihakan
terhadap yang lemah dan cita-cita mewujudkan masyarakat
yang sejahtera.
Islam Soeharto, Islamisasi dan Islam Abangan
Tesa Clifford
Gertz tentang
kategori tiga muslim sebagai santri, abangan dan
priyayi sebenarnya sudah lama terbantahkan. Meski
analisanya tak sepenuhnya sahih, Gertz sesungguhnya telah melihat praktek-praktek keagamaan
model masyarakat Jawa dibandingkan dengan konsep agamanya
yang genuine.
Pada abangan, bisa dikatakan bahwa ada proses konversi yang
tidak lengkap. Dalam waktu yang lama misalnya, orang-orang
Jawa masih memelihara praktek tradisi Hindu dan menggunakan
Islam dan Syariahnya hanya sebagai bungkus atau petunjuk
formal dan wadah bagi kehidupan spiritual.[v]
Pada era
Soeharto, performance Islam Indonesia sebenarnya
justru lebih pada kecurigaan kelompok-kelompok, pencatatan
setiap pertemuan publik yang bersifat keagamaan, pembubaran
organisasi yang dianggap menggerogoti Pancasila dan tindakan
subversif. Baru pada era 90-an Islam nampaknya menemukan
momentum gerakannya. Ini misalnya ditandai dengan lahirnya
ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) di tahun 1992,
greening di level birokrasi meminjam istilah Hefner
dalam “Civil Islam” menjadi gairah baru kehidupan muslim
di Indonesia. Sejak itu, atribut-atribut Islam --para pengamat
lebih sering menyebutnya sebagai simbol-- menjadi warna
keseharian kehidupan muslim. Pilihan memakai busana muslimah,
misalnya, sudah menjadi bagian dari kehidupan publik, dan
fenomena tidak hanya terjadi di ICMI, namun seiring menguatnya
gerakan tarbiyah Islam dari kaum urban. Gerakan ini, terutama
dimotori kaum muda dari universitas-universitas umum. Mereka
menginginkan kehidupan yang khusu dengan menerapkan
ajaran-ajaran yang fundamental seperti masa Rasulullah saw,
terutama cara berpakaian. Model yang sebenarnya ingin mengambil
prinsip-prinsip literal al-Qur’an dan sunnah. Tak heran,
kalau timbul guyonan baju menunjukkan identitas madzhabnya! Gerakan ini banyak mendapat perhatian pengamat asing,
terutama untuk studi-studi akademik. Apalagi fenomena ini
tidak hanya terdiri dari satu grup, namun muncul juga di
grup yang lain dengan identifikasi khusus. Sebagian kentara
sekali warna Timur Tengahnya, sehingga kadang lebih mewakili
eksistensi budaya Timur Tengahnya daripada pesan keagamaannya.
Dengan fenomena ini bertambah lagi warna Islam di Indonesia.
Kecenderungan-kecenderungan
di atas, kemudian melahirkan Islam labeling[vi];
radikal, fundamental, moderat, liberal dan sebagainya. Mengapa?
karena identitas itu memudahkan penggambaran gerakan masing-masing.
Apakah Islam di masa lalu yang lebih menunjukkan identitas
Islam Indonesia kemudian lenyap? Jawabnya, tidak sepenuhnya.
Namun gerakan yang paling banyak menarik media massa ini
lebih sering ter-cover daripada Islam genuine[vii] Indonesia
sebelumnya. Meski awal-awal kemerdekaaan, kita tak melupakan
gerakan DI/TII dan “kekejaman” kelompok Kartosuwiryo yang
mencita-citakan berdirinya Islam di Indonesia.
Islam
Indonesia Sebelum
Tragedi 11 September
Studi Islam
di Indonesia sebenarnya banyak menarik perhatian Islamist di luar negeri terutama tentang raksasa dua organisasi massa
Islam; NU dan Muhammadiyah. Namun, meski Indonesia kaya
dengan banyak intelektual muslim, dari pihak organisasi
manapun, mereka jarang terkenal dalam dunia Internasional.[viii] Memang, Islamic studies
di kelas-kelas Internasional banyak menjadikan Islam
Indonesia menjadi obyek kajian, tapi mereka umumnya tidak terfokus pada satu tokoh. Studi-studi lebih diarahkan pada
perkembangan Islam dalam kaitannya dengan
kasus-kasus khusus, politik misalnya.
Pasca Soeharto,
yaitu era reformasi nampaknya merupakan momentum untuk melahirkan
ekspresi Islam masing-masing, NU dan Muhammadiyah tidak
lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak
pengamat asing. Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya,
ada banyak organisasi massa Islam di Indonesia, misalnya
Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua organisasi
sebelumnya.
Sementara
itu, seperti disinggung di atas, era reformasi adalah era
keterbukaan yang memungkinkan orang untuk mengekspresikan
pikiran termasuk cara keberagaamaan. Ambillah contoh misalnya;
lahirnya Front Pembela Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin
Indonesia). Forum Komunikasi Islam Ahlussunnah wal Jamaah
dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing organisasi
Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang menarik,
gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa
dengan coverage yang
seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri. Wajar saja,
karena selain sangat kental dengan simbol, gerakannya yang
lebih mengandalkan unjuk kekuatan dalam melawan sesuatu
–di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya-- bahkan banyak
orang dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan
agama dengan kata lain jihad.[ix]
Fenomena
munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh menguatnya
wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan
pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman
Wahid. Policy ini lebih memberikan keleluasaan daerah
untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak inilah Islam
Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa
gerakan yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf’
lebih sering didengar masyarakat daripada kegiatan-kegiatan
ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam. NU
dan Muhammadiyah, malah sunyi dari publikasi.
Islam
Indonesia Pasca 11 September: Merespon
Amerika, Mencari Sekutu,
Mencipta Enemi Baru
Tak ada yang menyangka, bahwa 11 September 2001 lalu, WTC di New York yang
secanggih itu security-nya bisa hancur luluh dalam
hitungan menit dan menggegerkan dunia.[x]
Banyak simpati dunia akan tragedi itu kepada Amerika.
Presiden Megawati, bahkan, menjadi tamu pertama George Bush
setelah peristiwa itu dan menyatakan dukungannya bahwa Indonesia
di belakang setiap usaha untuk menumpas kekerasan/terorisme.
Namun apa
yang terjadi? Setelah “malapetaka Amerika” ini,
muncul misi Amerika; perang melawan teroris. Indonesia
pasca tragedi itu, pernah dijuluki surga bagi teroris[xi],
dengan merujuk situasi gerakan Islam belakangan. Dikatakan
bahwa otak pengeboman itu; Osama bin Leden, banyak mempunyai
network dengan pentolan ormas-ormas yang lahir belakangan.
Asumsi ini timbul karena meningkatnya gerakan Islam radikal
di Indonesia. Mereka misalnya dikenali dengan ciri-ciri;
penggunaan simbol-simbol Arab, sering mengerahkan massa,
cita-cita menegakkan negara Islam dan lain-lain.
Bagi mereka,
terutama mereka yang melihat perkembangan Islam di Indonesia
belakangan, gejala ini memunculkan kekhawatiran tersendiri,
terutama ketakutan matinya demokrasi di Indonesia. Bukan
itu saja, gerakan-gerakan yang
didanai secara swadaya, ini juga rentan akan kedekatannya
dengan penyandang-penyandang dana dari Timur Tengah.
Sejak Amerika
memproklamirkan war
againts terorist, Indonesia masuk dalam sasaran ini.
Apakah yang populer dan bisa diinventarisir dalam sorotan
dunia tentang
isu Islam di Indonesia pasca tragedi 11 September?
Pertama,
isu Jamaah Islamiyah (JI). Organisasi yang hampir tak pernah
dikenal di Indonesia ini, disinyalir sebagai sarang lahirnya
teroris. Meski sebenarnya banyak tokohnya ada di Malaysia,
tak urung orang-orang yang pernah terlibat atau berhubungan
dengan almarhum Abdullah Sungkar, sang pemimpin di Malaysia
di manapun berada dianggap telah ikut menghidup-hidupkan
JI ini. Di Indonesia, nama Abu Bakar Ba’asyir, ketua MMI
dan pengasuh pesantren Ngruki ini mendadak menjadi sangat
terkenal, dalam kasus pencarian jaringan-jaringan JI. Apapun
alasannya, akhirnya ia berhasil dikenai dengan serangkaian
tuduhan makar maupun aktor di balik terjadinya gerakan-gerakan
Islam garis keras.
Kedua, meningkatnya sentimen anti-Amerika. Ketika terjadi peristiwa
11 September 2001, Indonesia sebenarnya menunjukkan atensi
dan simpati serta mengutuk perbuatan tak berperikemanusian
ini, siapa pun pelakunya. Namun keputusan pemerintahan Amerika
untuk menyisir Afganistan, negeri di mana Osama bin Leden
kira bersembunyi, telah melukai banyak umat muslim di Indonesia.
Afganistan memang di bawah rezim Taliban yang ditengarai
sangat radikal dan literal dalam pemahamaman keagamaan,
namun bukan kewajiban Amerika untuk kemudian menyerangnya
dengan alasan untuk membebaskan rakyat dari kekuasaan yang
tiran sambil mencari-cari Osama. Agresi tetap agresi, di
mana tindakan Amerika ini tak bisa meluputkan jatuhnya korban-korban
sipil.
Setelah sukses
dengan Afganistan dan memberinya “kompensasi”, Amerika dengan
kebijakan barunya menyerang Irak. Apapun alasannya, Irak
yang sampai hari belum sesukses Afganistan untuk ditaklukkan,
Amerika telah menjadikan Irak sebagai seteru baru dan seolah-olah
menjadi imaginer enemy.
Untuk melakukan itu semua Amerika tidak sendiri, ia banyak
mendapat sekutu, terutama sebagian negara-negara di Eropa.
Policy
pemerintahan Amerika seperti di atas, sebenarnya sangatlah
membuat risih. Banyak orang kemudian –termasuk di Indonesia-
yang menggeneralisir bahwa apapun yang berbau Amerika
harus dimusuhi, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Di Indonesia,
ketika terjadi penyerangan-penyerangan itu, tak sedikit waralaba-waralaba Amerika yang ingin dihancurkan.
Sementara orang kulit putih dari negara manapun, menjadi
target kekerasan bom, maupun sweeping. Ini yang kemudian
membuat sejumlah negara memberikan travel
warning kepada turis untuk datang ke Indonesia.
Ketiga,
menguatnya citra Islam radikal di Indonesia. Media
massa, baik dalam maupun luar, telah banyak mengekspos berita-berita
tentang wajah Islam di Indonesia yang seringkali tanpa reserve.
Lihatlah, bagaimana istilah JI bisa sangat populer, bagaimana
setiap saya bertemu dengan orang asing, selalu ditanya tentang
Islam Fundamentalis, FPI dan sebagainya. Hal ini tentu disebabkan
konstribusi media yang besar dalam menimbulkan opini publik
yang suka atau tidak suka telah mengubah wajah Islam di
Indonesia.
Keempat, meningkatnya aksi bom untuk dan atas nama jihad. Bagaimana
pun, ketika dunia masih tersentak dengan peristiwa 11 September,
tiba-tiba bom Bali terjadi dan disusul dengan Bom
J.W. Marriot hotel, yang targetnya membunuh orang. Serangkaian
bom itu, mendadak menimbulkan spirit saudara-saudara kita
untuk jadi martir setelah membunuh orang!
Kajian Islam Indonesia, Perlukah
Dibuka Kelas Internasional?
Historiografi
Islam di Indonesia sebenarnya banyak ditulis, baik
oleh orang-orang Indonesia sendiri maupun pengamat asing.
Banyak mahasiswa Indonesia maupun non-Indonesia yang studi
di luar negeri mengambil spesifikasi Islamic Studies,
dan mereka menulis tentang Islam Indonesia. Sebagai negara
dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia dengan segala
keragamannya, sudah saatnya kajian Islam Indonesia menjadi
satu subyek sendiri. Bahkan, hal ini dapat menjadi bukti
kekhasan Islam Indonesia di bumi sendiri.
Di Universitas
Leiden Belanda, contohnya, meski bukan subyek yang wajib
diambil, ada mata kuliah Dissemination
Islam in Indonesia, yang mengkhususkan kajian Islam
Indonesia abad ke-20. Pemikir-pemikir Islam Indonesia, jarang
dikaji secara khusus seperti mereka mengkaji Mohammed Arkoun,
Hassan Hanafi atau tokoh yang lain. Melihat contoh demikian,
sudah saatnya didorong “Studi Islam Indonesia” menjadi bagian
dari mata kuliah yang harus ditawarkan di Islamic
Studies kelas Internasional.
Sementara
jika di PTAI dibuka kelas Internasional, sudah seharusnya
ada muatan kurikulum lokal yang khusus menyoroti perkembangan
Islam Indonesia termasuk memasukkan perkembangan mutakhir,
10-tahunan terakhir yang berkembang sangat pesat, dewasa
ini. Hal ini, juga agar jangan sampai kelas internasional
Indonesia tak beda dengan kelas internasional di luar Indonesia
yang mengkaji tokoh-tokoh yang sama. Usaha ini bukan hanya
mendorong tumbuhnya pemikir-pemikir muslim dengan gagasan
yang brilian dan selalu menjawab problem keberagamaan kini,
namun juga mempromosikan Islam Indonesia, paling tidak,
sudah dielaborasi di negeri sendiri. Selain itu, ini juga
untuk menumbuhkan terbitnya buku-buku atau karya-karya tulis
dari para penulis muslim Indonesia, sehingga mampu menembus
dunia internasional (go international). Di sisi lain,
agar para pengamat non-Indonesia lebih dekat mengenal Islam
Indonesia dan tak seburuk digambarkan media (baca: asing)
selama ini.
Penutup
Wajah Islam
di Indonesia selalu mengalami perubahan bentuk dari waktu
ke waktu. Masa pra kemerdekaan sebenarnya tak jauh dengan
masa-masa Soeharto. Pada masa reformasilah, saya kira yang
banyak mendapat sorotan dunia. Saat itu, wajah Islam kita
tiba-tiba total menjadi Islam yang “garang”, yang suka menunjukkan
kekuatan dan banyak mencita-citakan mati syahid (martir)
kalau berhasil melenyapkan orang yang didefinisikan sebagai
musuh.
Meski citra
ini mereduksi wajah Islam Indonesia yang toleran dan ramah,
publik atau dunia mulai melihat titik terang Islam di Indonesia.
Mereka misalnya sering
mencari rujukan-rujukan model keberagamaan seperti di NU
dan Muhammadiyah. Sebutlah yang agak kontroversial misalnya,
undangan Presiden Bush sewaktu ke Bali dan safari dubes
AS ke beberapa tokoh dan pesantren.
Di sisi lain,
dalam konteks dinamika kelimuan di Perguruan Tinggi Agama
Islam, kiranya secepatnya dapat menciptakan kurikulum untuk
mengenal Islam Indonesia yang genuine. Terlebih bila
terdapat kelas Internasionalnya. Realitas sosial perempuan
Islam Indonesia, seperti terungkap melalui komentar kawan
saya di atas, dalam wacana mutakhir keislaman, saya kira
dapat menjadi wacana khas a la Indonesia. Hal itu,
sudah saatnya diujicobakan.
[i]Hanya
orang Muslimlah yang bisa masuk Haramain, karena siasatnya
itu, kemusliman Snouck Hurgonje sesungguhnya banyak
menimbulkan kontroversi. Prof. Dr. P.S van Koningsveld.
Snouck
Hurgronje dan Islam. Delapan Karangan Hidup dan Karya
Seorang Orientalis Zaman Kolonial Islam (translated
from Snouck Hurgronje en Islam, acht artkelen over lenen
en werk van een orientalist uit het koloniale tijd perk),
(Jakarta: Girimukti
Pusaka, 1987).
[ii]Adaptasi misi Islam seperti
ini sampai hari ini masih banyak dipraktekkan orang-orang
NU, meski ada sebagaian kelompok lain yang menentang,
karena dianggap terlalu kelewatan percampurannya, hingga
terkesan lebih dominan agama lain daripada Islamnya.
[iii]Seorang Muslim dari Australia
yang melihat dari dekat kehidupan beragama di Indonesia
mengatakan; negaramu itu unik, meski ada agama mayoritas,
tetap ada daerah yang menjadi central
agama-agama tertentu! Dan ia melihat Islam dipraktekkan
secara luwes.
[iv]Lihat,
misalnya buku biografi Hasan Raid Pergulatan Muslim
Komunis; Otobiografi Hasan Raid,’ tahun 2001. Selain
beliau, kita mengenal Kyai Misbah dari Jawa Timur yang
juga dikenal sepakat dengan aliran yang katanya menjadi
ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga
harus diberangus.
[v]Argumen ini misalnya dikemukakan
oleh Fauzan Saleh dalam Modern Trends in Islamic
Theological Discourses in Twentieth Century Indonesia,
a critical Survey (Leiden: Brill NV, 2001).
[vi]Islam labeling merupakan
penyebutan/opini saya pribadi. Kaum akademi Indonesia
sebenarnya sudah lama menggunakan kategorisasi Islam,
yang merujuk pada Fazlurrahman. Meski
Islam-islam yang bersifat argumentatif dan kategoritatif
itu tak sepenuhnya ada dalam kehidupan muslim di Indonesia
di waktu lalu.
[vii]Islam
yang genuine Indonesia, dimaksudkan sebagai penggambaran
identitas Islam yang hanya dapat ditemukan di Indonesia
[viii]Pemikir-pemikir dunia Islam
sudah tak asing lagi bagi kalangan mahasiswa Perguruan
Tinggi Islam maupun akademisinya. Terutama, bahwa pemikiran
mereka menjadi silabi wajib di perguruan Tinggi. Bahkan
banyak dari mereka sengaja diundang ke Indonesia. Seorang
Professor Islamic Studies dari Universitas Quaid-I-Azam
University Islamabad di Pakistan, yang sama-sama menjadi
visiting fellow di East West Center dengan saya
mengatakan tak tahu banyak tentang pemikiran Islam di
Indonesia, kecuali tentang NU dan Muhammadiyah. Keadaan
ini mungkin bisa dipahami, karena tak banyak dari mereka
yang punya publikasi Internasional dan mendapat sambutan
luas.
[ix]Organisasi-organisasi
yang kerap terlihat dalam pengerahan massa, kadang juga
menimbulkan distorsi berita untuk koran luar negeri
misalnya; Harian Honolulu Star Buletin (koran
dengan jumlah oplah yang besar di Hawaii) tanggal 8/11/2003
memuat berita dan gambar tentang pembukaan kongres MMI.
Dengan judul yang sangat bombastis; 3000 orang di Indonesia
mengadakan rally untuk mendukung bos teroris
(yang dimaksud adalah Abu Bakar Ba’asyir). Padahal mereka
adalah santri-santri Pesantren Baasyir yang menghadiri
pembukaan kongres.
[x]Sampai hari ini, saya tidak
pernah merasakan aura 11 September di Indonesia, bagaimana
mereka mengekpresikan simpati terhadap korban Amerika,
memuntahkan kebenciannya akan policy Amerika
yang sepihak membuat agresi ke negara-negara yang dia
anggap sarang teroris setelah memaklumkan war againts
teroris. Kesan-kesan muslim Indonesia hanya saya
tangkap dari media massa atau media elektronik. Saya
menghayati ekspresi-ekspresi Muslim itu, karena 11 September
2001, saya sedang studi di Leiden (Belanda), 11 September
2002, hari wisuda saya dan masih di Leiden dan 11 September
2003 saya di Hawaii USA. Pada 11 September 2001, di
Belanda, saya melihat masyarakat Muslim (tidak termasuk
muslim Indonesia) beramai-ramai mendukung Osama bin
Leden, pemimpin jaringan al-Qaida yang diduga berada
di balik tragedi 11 September. Kelompok mereka, yang
sebenarnya lebih menitikberatkan pada anti-Amerika,
ada dalam jumlah yang besar, sampai waktu itu cukup
mengkhawatirkan pemerintah Belanda. Sebaliknya, kalau
kita berada di USA, kita akan melihat bahkan merasakan
peristiwa 11 September sebagai perbuatan biadab, unhuman
dan sama sekali bukan akibat arogansi Amerika, sebab
korban-korbannya memang masyarakat sipil.