Kebudayaan dan Peradaban ; Antara Barat dan Islam
“Kebudayaan” dan “Peradaban” adalah dua istilah yang hampir mirip namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda.
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah ‘culture’
sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19.
Sebelum tahun 1843 para ahli anthropologi memberi arti kebudayaan
sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin
dalam istilah agriculture dan holticultura. Hal ini dapat dimengerti karena istilah culture ini berasal dari bahasa Latin colere
yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian.
Dalam arti kiasan kata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian
jiwa”.
Akar kata “kebudayaan” ini adalah kata “budaya” yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi
atau akal. Dalam hal ini, manusia diyakini memiliki unsur-unsur potensi
budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga
potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain
kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Definisi
yang lebih luas dikemukakan oleh E. B. Tylor yang menyatakan bahwa
“Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan,
keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan dan kebiasaan
seseorang sebagai anggota masyarakat.”
Dengan
definisi yang diberikan oleh E.B. Tylor ini –dan para ahli lain yang
sependapat– menyebabkan apa yang disebut ‘kebudayaan’ sering disamakan
dengan ‘peradaban’. Padahal keduanya amat berbeda. Dalam perkembangannya
malahan pengertian istilah budaya dan kebudayaan hanya dibatasi pada
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun istilah “peradaban” dalam bahasa Inggris disebut civilization.
Istilah peradaban ini sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan
penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Pada waktu perkembangan
kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur budaya yang
halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat
pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang
tinggi.
Dengan
batasan-batasan pengertian di atas, maka istilah peradaban sering
dipakai untuk hasil-hasil kebudayaan seperti kesenian, ilmu pengetahuan
dan teknologi, adat sopan santun serta pergaulan. Selain itu juga
kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang maju
dan kompleks. Ini mengingat tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa
sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kemajuan dan ilmu
pengetahuan.
Pengertian
yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil
budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik
fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai,
tatanan, seni budaya, maupun iptek).
Huntington
memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah entitas terluas dari
budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti
bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui
identifikasi diri yang subyektif. Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika
Serikat– dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahasa, budaya dan
agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban, yakni peradaban
Barat.
Lebih lanjut Huntington menyatakan bahwa term “Barat”,
secara universal, digunakan untuk menunjuk pada apa yang disebut dunia
Kristen Barat. Dengan demikian, “Barat” merupakan sebuah peradaban yang
dipandang sebagai “penunjuk arah” dan tidak diidentikkan dengan nama
orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Akan tetapi
pengidentifikasian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah
geografis, dan konteks kulturalnya. Secara historis, peradaban Barat
adalah peradaban Eropa, namun di era modern ini yang dimaksud dengan
peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara.
Dari
beberapa pengertian “kebudayaan” dan “peradaban” tersebut di atas
tampak sekali terdapat perbedaan di antara keduanya. Di sini, pemikiran
yang lebih jelas tentang perbedaan “kebudayaan” dan “peradaban” dapat
dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman, seperti Edward Spranger
yang mengartikan “kebudayaan” sebagai segala bentuk atau ekspresi dari
kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan
kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya.
Dengan
demikian, maka sebuah bangunan yang indah sebagai karya arsitektur
mempunya dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan
falsafahnya berakar pada kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan
material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain,
kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa
yang kita pergunakan. Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra,
aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan
moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban
tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan,
sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang.
Sejalan
dengan pemikiran Spranger ini adalah Effat al-Syarqawi yang mengartikan
“kebudayaan” sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang
tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu
kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan
ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan
waktu. Dengan kata lain, “kebudayaan” adalah struktur intuitif yang
mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu
masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara
berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.
Adapun
“peradaban” ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk
mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap
kondisi-kondisi di sekitarnya. Di sini “peradaban” meliputi semua
pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain.
Peradaban tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi,
ekonomi, politik praktis, fiqih mu’amalah, dan semua bentuk kehidupan
yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi.
Kaitannya
dengan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud
dengan “peradaban Islam”, menurut Muhammad Husain Abdullah, adalah
“sekumpulan pandangan tentang kehidupan menurut sudut pandang Islam.” Pengertian yang lain menyebutkan bahwa “peradaban Islam” adalah
peradaban orang-orang Muslim atau peradaban manusia yang diilhami,
dilandasi oleh keyakinan Islam. Atau dengan pengertian yang lain,
“peradaban Islam” adalah pencapaian hasil budi kaum muslim dalam
sejarah.
Adapun
yang menjadi orientasi kebudayaan di dunia Islam adalah perbedaan
antara alam kosmis, transendental, tatanan keduniaan, serta kemungkinan
untuk mengatasi ketegangan yang inheren dalam perbedaan ini
berdasarkan ketaatan sepenuhnya pada Tuhan dan kegiatan keduniaan
–terutama sekali, kegiatan politik dan militer; unsur universalitas yang
kuat dalam definisi tentang komunitas Islam; pemberian akses otonom
bagi seluruh warga komunitas untuk memperoleh atribut-atribut tatanan
transendental dan keselamatan (salvation) melalui ketaatan terhadap Tuhan; cita-cita ummah,
komunitas politik-keagamaan dari setiap pemeluknya, dan gambaran
mengenai penguasa sebagai penegak cita-cita Islam, mengenai kemurnian ummah, dan kehidupan komunitas.
Berangkat
dari pengertian “peradaban Islam” tersebut di atas, maka berbeda dengan
Islam yang sakral, tetap dan abadi, peradaban Islam betapapun besar dan
hebatnya, adalah bersifat profan, berkembang dan tidaklah suci.
Peradaban Islam, tetaplah seperti peradaban lain, yakni tidak bebas dari
kelemahan.
Hal tersebut dapat dibuktikan ketika kita flashback ke
masa lalu, dimana Nabi Muhammad saw. mampu menyusun kekuatan baru untuk
melakukan reformasi peradaban secara total mulai dari ideologi,
teologi, sampai kepada kultural dan hasilnya sangat mengesankan.
Kemudian usaha beliau itu dilanjutkan oleh para penguasa muslim melalui
fondasi bangunan teologi yang kokoh, penguasaan dan pengembangan sains
atas dasar semangat iqra dan amal shalih. Atas dasar itu, sejarah
dan khazanah kita di masa lampau --terutama sejak pemerintahan Nabi
Muhammad saw. di Madinah hingga tahun 1250 Masehi yang ditandai dengan
berakhirnya masa kejayaan Spanyol Islam di daratan Eropa-- umat Islam
mampu mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berperadaban tinggi.
Namun
demikian, seiring dengan pasang surutnya sebuah peradaban, peradaban
Islam pun pernah mengalami masa-masa kejayaan meskipun kemudian
mengalami masa kemunduran. Jika pada zaman Abbasiyah umat Islam mampu
menjadi sumber ilmu pengetahuan serta menjadi kiblat dunia, termasuk
Barat, maka saat ini umat Islam hanya menjadi konsumen dari ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Peradaban
Baratlah yang saat ini memberikan kontribusi besar bagi kehidupan
manusia secara umum dan bahkan cenderung menghegemoni peradaban lainnya,
termasuk Islam.